Ditulis Oleh : Rosida Amalia
Hargai makanan, ada orang lain yang sulit mendapatkan.
Hari ini matahari begitu terik. Pulang sekolah aku naik angkot dengan teman. Biasanya dijemput sopirku. Tetapi hari ini Pak Sopir mengantar Ibu ke acara Dharmawanita. Ibu menyuruhku menunggu dulu 30 menit di pos penjagaan satpam. Namun, aku memberanikan diri naik angkot.
“Kamu main ke rumahku dulu, ya! Nanti diantar pulang oleh kakakku,” kata Andi, temanku.
“Boleh,” kataku.
Rumah Andi ternyata sederhana, berbeda dengan rumahku yang besar dan mewah.
“Makan yuk di dapur!” kata Andi.
Mataku terbelalak ketika melihat hidangan hanya tempe goreng dan ikan asin serta sayur bayam. Aneh, terasa nikmat makan dengan menu sederhana. Nasi di piringku hampir bersih hanya tersisa sesendok.
“Habiskan, nanti nasinya menangis kalau dibuang,” kata Andi.
Aku terkejut, biasanya makan disuapin Ibu dan makanan sering tersisa. Padahal makan dengan lauk pauk lezat. Kali ini, aku berusaha menghabiskan makanan.
Sampai di rumah, Ibu kesal melihat aku naik angkot diantar teman. Ibu bilang, “Sopirku menjemput ke sekolah, sudah tidak ada orang.”
Saat makan malam, aku berusaha makan tidak disuapin Ibu. Alhamdulillah, makanan di piring tidak tersisa.
“Tumben makan sendiri dan habis tidak tersisa,” kata Ibu.
“Takut nasi menangis Bu.” kataku. ***